KETIKA terjadi pelemparan batu yang menyebabkan sejumlah kereta mengalami kerusakan dan penumpang luka-luka tak hanya PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero saja yang merasa prihatin. Sebagian besar masyarakat juga menyayangkan tindakan tak beradab tersebut. Namun, yang paling merasa bersedih dan kecewa barangkali para penggemar kereta api (KA) atau railfans. Sebab, mencintai KA bagi mereka sudah menjadi panggilan jiwa. Mereka tak mau jadi orang-orang—atau semacam pacar—yang ketinggalan kereta. Boleh di kata rasa suka mereka terhadap si ular besi itu melebihi segalanya. Rasa cinta tersebut tertanam pula di hati Pandu Wijanarko (23). Dia mengaku suka kereta api sejak kecil karena sering diajak oleh sang ayah ke stasiun. Mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis Undip Semarang ini bahkan pernah menyalurkan hobinya dengan berkeliling Pulau Jawa selama seminggu penuh menggunakan KA kelas ekonomi pada 2013 lalu. ‘’Berbekal uang Rp 600.000, saya berpetualang mulai dari Semarang menuju Jakarta naik KA Tawang Jaya kemudian dilanjut ke Bandung memakai KA Serayu Pagi. Dari Bandung perjalanan diteruskan ke Yogyakarta naik KA Pasundan. Selanjutnya dari Kota Pelajar ke Banyuwangi saya menumpang KA Sri Tanjung. Dari kota paling ujung timur Pulau Jawa itu saya lalu meneruskan travelling ke Malang via Bangil naik KA Tawang Alun. Di akhir perjalanan, dari Malang saya pulang ke Semarang naik KA Matarmaja. Perjalanan yang sungguh menantang dan mengasyikkan,’’ ceritanya. Pria tinggi besar ini dalam waktu dekat juga akan mengadakan joyride ke salah satu stasiun tertinggi di Indonesia yakni 818 meter di atas permukaan laut (dpl) yaitu Stasiun Lebak Jero di Bandung, Jabar. Kegilaan serupa juga ada pada diri Slamet Wahyudi (40). Lelaki yang berdomisili di wilayah Jamus, Mranggen, Demak itu, bahkan punya pengalaman tak kalah seru terkait hobinya pada kereta api. Pernah suatu ketika, jelasnya, dia mengadakan blusukan seorang diri menelusuri jalur KA nonaktif Ambarawa ke Tuntang hingga Kedungjati. Perjalanan nekat sejauh 37 km itu penuh tantangan itu, mengingat rute yang dilalui sudah 30 tahun lebih telah mati dan bekas jalur relnya banyak yang hilang bahkan ada yang tertimbun tanah. Di sepanjang perjalanan dia harus melewati hutan, hamparan sawah, perkampungan. ‘’Dari Stasiun Ambarawa, saya berangkat pukul 15.00 menuju ke Tuntang dengan berjalan kaki. Dari Ambarawa bisa di bilang perjalanan blusukan tidak menemui kendala berarti mengingat jalur rel masih ada karena dilalui KA wisata. Nah, selepas Tuntang ke arah Bringin sampai Kedungjati perjalanan baru menantang. Saat melewati kawasan hutan atau perkebunan kadang saya menemui binatang buas seperti ular, musang, biawak dan lain-lain. Begitu pula ketika melalui perkampungan suasana sudah sepi karena malam. Beberapa kali saya kesasar. Akhirnya saya tiba di Stasiun Kedungjati pukul 01.00,’’ ungkapnya. Tersebar di Daerah Selain hobi blusukan, Slamet juga suka mengoleksi pernakpernik terkait sepur seperti kalender, buku, foto bahkan bekas roda lori dan relnya pun dia punya. Khusus untuk roda lori dan rel dia beli dari tukang loak. Di Indonesia, para penggemar sepur ini jumlahnya cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah. Mereka ada yang tergabung dalam komunitas ataupun memilih independen. Di Jakarta railfans ada yang ikut jadi anggota Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), Gerakan Muda- Penggemar KA (GM-Marka), Komunitas Edan Sepur Indonesia, dan KRL Mania. Di Surabaya dan Malang terdapat kumpulan sejenis yakni Komunitas Peduli dan Pecinta Kereta Api (Komuter) serta RF +444. Di Jawa Tengah dan DIY tak ketinggalan bermunculan komunitas serupa antara lain Komunitas Railfans Daop Empat (KRDE) di Semarang, PJL 99 RF Soloraya di Solo, Spoorlimo di Purwokerto, Railfans Tegal (RFTG), dan Railfans Yogyakarta serta Komunitas Pramekers Joglo. Semua organisasi itu mempunyai kegiatan yang tak jauh berbeda seperti berburu foto KA, kumpul bareng, joyride, blusukan jalur mati, mengoleksi pernak-pernik berbau sepur dan sebagainya. Warna Tersendiri Khusus di Jateng keberadaan komunitas railfans ini memberikan warna tersendiri. KRDE misalnya. Komunitas penggemar sepur yang berdiri 20 Agustus 2011 dan bermarkas di Stasiun Alastua, Semarang itu mempunyai kegiatan unik terkait hobinya yakni mancing bareng sekaligus berburu foto KA di sekitar areal tambak di timur Stasiun Tawang tepatnya di Jl Ronggowarsito. Menurut Ketua Harian KRDE Pandu Wijanarko, komunitasnya rutin mengadakan mancing bersama sebulan dua kali. Anggota KRDE saat ini berjumlah 125 orang di Facebook dan yang rutin bersua setiap malam minggu sekitar 10-20 orang. Mereka terdiri atas bermacam latar belakang, usia, pendidikan, dan domisili. Anggota termuda anak SMP dan tertua guru serta tentara. Di Solo organisasi serupa juga punya kiprah tersendiri. Komunitas PJL 99 RF Soloraya begitu sebutannya. Dikatakan PJL 99 karena diambil dari nama pos jaga perlintasan di sebelah barat Stasiun Purwosari yang menjadi basecamp. Menurut Ketua Komunitas PJL 99 RF Soloraya Asmani Lukito (27), organisasinya berdiri 14 Februari 2009 dan saat ini anggotanya berjumlah 246 orang. Adapun slogannya Satu Sepur Sejuta Sedulur. Komunitas penggemar sepur lainnya ada di Purwokerto. Namanya Spoorlimo. Cukup unik sebutannya. Ketua Spoorlimo Boris Indracahya Mokhamad (21) menjelaskan, Spoorlimo berdiri pada 8 Juni 2009 dan berasal dari kata Spoordalam bahasa Belanda yang artinya rel dan Lima dalam bahasa Jawa artinya lima. Saat ini anggotanya sekitar 200-an orang Maknanya adalah komunitas yang secara wilayah, organisasi, dan kegiatan masuk dalam Daop 5 Purwokerto. Organisasinya pernah mengadakan kunjungan ke Dipo Lokomotif dalam rangka edukasi perkeretaapian buat penggemar pemula, penanaman pohon di areal stasiun yang gersang yakni Sikampuh, dan sosialisasi keselamatan di perlintasan KA. ”Dengan kegiatan tersebut kami ingin memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat walau skalanya kecil.” (Noviar Yudho Prasetyo-90)